Lebaran kian dekat. Jutaan pemudik mulai cemas menghadapi transportasi
yang dari tahun ke tahun tidak pernah tertangani dengan lebih baik.
Ribuan penumpang akan kembali berjejal di kapal, bus, atau kereta api.
Kemacetan di pantura dan berbagai tempat akan menjadi pemandangan
menyesakkan hati. Selain itu, konvoi ratusan ribu sepeda motor yang
dipenuhi anak-anak dan barang bawaan mewarnai aktivitas mudik, seolah
tidak peduli pada pemenuhan hak anak-anak.
Sepeda motor
Pembiaran dan pelanggaran hak anak saat mudik Lebaran amat menonjol
pada anak-anak yang harus ikut perjalanan jauh dengan sepeda motor.
Menurut data Masyarakat Transportasi Indonesia, tahun ini pemudik
dengan motor naik sekitar 18 persen, dari 2,1 juta menjadi 2,5 juta.
Padahal, sepeda motor pada dasarnya tidak dirancang untuk perjalanan
jauh. Untuk mengendarai mobil saja, dikatakan konsentrasi pengemudi
berkurang 30 persen setelah empat jam perjalanan, apalagi jika
mengendarai motor. Konsentrasi dituntut lebih tinggi karena selain
harus menempuh jarak jauh, juga harus menjaga keseimbangan motor.
Belum lagi motor ditambah kayu agar bisa menampung barang bawaan dan
anak-anak dijejalkan paksa. Perjalanan demikian berisiko tinggi.
Catatan Polres Metropolitan Kota Bekasi menunjukkan, angka kecelakaan
sepanjang tahun 2007 di wilayahnya, 80 persen di kalangan pengendara
motor. Polda Metro Jaya juga mencatat beberapa kasus anak balita
meninggal setelah ditutup jaket orangtuanya selama perjalanan beberapa
jam karena hujan di perjalanan Lebaran tahun lalu. Atau anak-anak
gegar otak karena sebagian besar kepala mereka tidak dilindungi helm
seperti orangtuanya.
Belum lagi anak-anak yang sakit karena kehujanan, menghirup polusi
asap kendaraan bermotor, atau bertabrakan atau bersenggolan hingga
terguling. Semua itu menambah panjang deretan anak yang menjadi korban
kegiatan mudik dengan motor. Semua ini tak lepas dari kelalaian dan
tanggung jawab kita, baik orangtua maupun pemangku kepentingan
perlindungan anak.
Aspek yuridis
Indonesia sudah meratifikasi Convention on the Rights of the Child
yang dicanangkan PBB tahun 1989. Kita juga telah memiliki UU No
23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Semua mengatur hak dasar
anak, seperti hak untuk hidup layak, hak untuk tumbuh dan berkembang
optimal, dan hak untuk memperoleh perlindungan.
Namun, dalam kegiatan mudik, hak-hak dasar anak tanpa sadar sering
kita, orangtua, langgar sendiri. Memaksa anak untuk pulang mudik
dengan motor yang amat melelahkan dan tidak nyaman merupakan tindak
kekerasan? Atau membiarkan anak naik motor dalam perjalanan jauh yang
penuh risiko kecelakaan dan tanpa perlindungan juga merupakan
pembiaran, penelantaran, dan perlakuan salah pada anak?
Ini melanggar UU Perlindungan Anak antara lain Pasal 63, ”Setiap orang
dilarang… membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa”. Pasal 77 Ayat 2,
”Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran…”.
Pasal 77 Ayat b menegaskan, ”Penelantaran anak yang mengakibatkan anak
mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”.
Makna utama Konvensi Hak Anak maupun UU Perlindungan Anak bukan hanya
bertumpu aspek yuridis yang mengandung unsur punishment, tetapi yang
terpenting adalah menyadarkan kita untuk mengedepankan kepentingan
terbaik bagi anak.
Paradigma baru
Semua pihak perlu berperan, baik pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh masyarakat, maupun media. Pemerintah perlu segera
mengumumkan aneka peraturan dan perundang-undangan yang melarang
membawa anak dengan motor dalam sebuah perjalanan jauh antarkota.
Aparat keamanan dapat terjun di berbagai titik untuk menghentikan
kendaraan roda dua yang membawa anak-anak untuk tidak meneruskan
perjalanan, dengan memberi bimbingan dan panduan simpatik. Tokoh
masyarakat dan selebriti bersama media dapat mengimbau masyarakat luas
tentang berbagai bahaya dan risiko yang dapat membahayakan jiwa anak-anak.
Tidak kalah penting, kampanye untuk mengubah paradigma tentang mudik.
Mudik dengan berbagai risiko mengorbankan keselamatan jiwa anak-anak
dengan motor adalah tindakan tidak tepat. Kegiatan mudik dapat
dilakukan kapan saja, termasuk setelah Lebaran. Dan, merayakan Lebaran
dapat dilakukan di mana saja, termasuk tidak harus di kampung halaman.
Memang semula terasa berat. Namun, dengan selalu mengedepankan
kepentingan terbaik bagi anak dan menjunjung tinggi hak anak,
paradigma yang menganggap bahwa saat Lebaran harus selalu mudik dapat
diubah bertahap dan dengan jiwa besar.
Seto Mulyadi Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak
Sumber: Kompas
Judul: Mudik dan Hak Anak
Like this:
Like Loading...