
Saat bertemu dengan puluhan Guru-guru Mata Pelajaran Ekonomi SMA Jakarta Pusat dan Jakarta Utara beberapa hari yang lalu, saya meminta mereka menyebut nama Guru yang pernah mengajar mereka di TK hingga Perguruan Tinggi yang tak akan pernah mereka lupakan hingga kini.
Masing-masing guru menyebut nama disertai alasan kenapa terus teringat Guru atau Dosen tersebut, ada yang bilang karena ganteng, cantik, baik, perhatian, tegas, galak, menerangkan pelajaran dengan baik, dsb.
Saat nama guru favorit yang disebut di cari di google, kami tak menemukan info, foto atau video tentang guru-guru yang menurut mereka hebat dan berkualitas, kenapa?
Ada teman guru yang tak bisa mengingat satupun guru atau dosennya, padahal pasti guru itu sudah sarjana, ada pula teman yang menyebut nama Dosennya yang bergelar Profesor, dan ketika nama profesor itu dicari di google, kami tak menemukan info, foto atau video tentang guru-guru yang menurut mereka hebat dan berkualitas, kenapa?
“Mereka sudah tua, bahkan sudah meninggal, banyak yang tak tau teknologi” kata mereka.
“Coba kita cari guru wanita di Belitung yang mengajar anak-anak SD di kampung miskin di sekolah yang tak layak yang kemudian jadi lokasi pembuatan film laskar pelangi atau seorang ibu yang terbaring lumpuh tapi tetap serius jadi guru di Sumedang,” sambil saya mencarinya di google dan menemukan banyak info, foto dan video tentang kedua ibu guru hebat itu. Keduanya tak memanfaatkan teknologi dalam mengajar, satu diantaranya sudah wafat.
Apa yang bisa diambil dari kedua ibu guru itu? Mereka mengajar dengan cara tak biasa melampaui norma-norma dan kebiasaan yang berlaku di zamannya dengan satu tujuan, menghebatkan generasi muda untuk bisa lebih sukses di masa depan.
Era digital saat ini, seharusnya guru tak lagi memberi tugas menggunakan media kertas atau tulis tangan, transaksi belajar harus menggunakan teknologi digital seperti ebook, email, elearning, foto, video memanfaatkan berbagai platform media sosial seperti facebook, twitter, blog, youtube, instagram, wattpad, snapchat, steller, dsb.
Salah satu model interaksi guru dan murid yang bisa diterapkan misalnya, murid membuat paper masalah ekonomi yang harus dimuat di blog murid, satu masalah yang ditulis menjadi makalah harus dikemas menjadi essay atau kumpulan foto yang harus diposting di instagram dab blog murid, masalah yang dikaji harus didokumentasikan dalam bentuk video pendek 3 menit dan harus di unggah ke youtube dengan judul dan tag nama pelajaran, nama guru dan nama sekolah di saluran youtube milik murid dengan identitas resmi murid tersebut.
Satu topik atau satu KD bisa diurai jadi tiga produk; makalah, foto, video yang dipublish di media sosial dan tiga produk itu menjadi materi atau isi blog atau website guru. Publikasinya ada di media milik guru dan murid yang bisa di nikmati hingga puluhan tahun ke depan.
Andai seorang guru mengajar 200 murid dalam satu semester memberikan dua tugas, maka publikasinya dalam setahun akan berjumlah 200 x 2 x 3 x 3 x 2 = 7.200 posting yang bertebaran di dunia maya bisa dinikmati orang sedunia. Jika dilakukan selama 5 tahun maka akan terdapat 36.000 posting publikasi di blog guru, blog murid dan media sosial lainnya.
Jika 100 guru ekonomi SMA di Jakarta melakukan itu selama setahun, maka akan terdapat 720.000 posting interaksi belajar ekonomi di jagat maya, luar biasa.
Gunakan telepon genggam anda untuk mencari nama anda, nama guru anda, apakah dirimu dan mereka meninggalkan jejak dan karya di internet atau berlalu dalam waktu, tenggelam bersama seragam biru?
Tulisan yang anda baca ini masih bisa anda baca hingga puluhan tahun ke depan selama wordpress masih memberi pelayanan pada dunia, nulis yuuuuk.
Profesional saja tak cukup, kabarkan interaksi dan karya anda kepada dunia.
Like this:
Like Loading...